OPINI* (SuaraIndonesia.net)–Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Banyuwangi masih 7 bulan lagi. Meski begitu, tensi politik di Bumi Blambangan mulai menghangat. Apalagi, publik dihebohkan dengan munculnya penunjukan caretaker PCNU Banyuwangi oleh PBNU. Yang artinya bahwa jajaran kepengurusan PCNU masa khidmat 2018-2023 dibawah komando KH. Mohammad Ali Makki Zaini resmi berakhir dan dinyatakan demisioner.
Lantas apa hubungannya dengan Pilkada Banyuwangi 2024?
Tentu, ini menjadi perhatian lebih. Sebab, merujuk pada sejarah dari masa ke masa, ormas islam terbesar ini memiliki konfigurasi terhadap dinamika pemilu. Mulai dari Pemilihan Presiden hingga kepala daerah. Meskipun, NU sama sekali tidak terlibat politik praktis. Namun, NU sebagai perisai organisasi Islam ahlussunnah wal jamaah juga memiliki pilihan, baik secara struktural maupun secara kultural.
Masih ingat perjalanan PCNU di era Bupati Abdullah Azwar Anas. Pada saat itu, Anas, panggilan singkatnya, bersama Yusuf Widyatmoko menjadi bupati/wakil bupati dua periode karena atas peran NU. Dia dianggap kader terbaik NU yang harus didukung oleh warga NU. Jajak pendapat melalui kontrak jam’iyah yang dilakukan PCNU dibawah komando KH. Maskur Ali saat itu terbukti ampuh.
Sementara, di era Bupati Ipuk Fiestiandani Azwar Anas, PCNU Banyuwangi awalnya terkesan tidak mengambil sikap. Sehingga para ulama’ dan para kiai mengambil jalan sendiri-sendiri. Namun, pada perkembangannya, tanpa serap aspirasi dan atau kontrak jam’iyah, KH. Ali Makki Zaini mengambil langkah taktis dan berani.
Dalam suatu kesempatan, pengasuh Pondok Pesantren Bahrul Hidayah itu justru menyatakan sikap yang mengejutkan jelang bergulirnya Pilkada 2020. “Pengumuman kulo Makki (KH. Ali Makki Zaini, red) pak Anas, pengapunten ingkang katah, kulo mboten saget nulungi njenengan. Kulo tak sareng Yai Hisyam mawon (KH. Hisyam Syafaat, red).” Pernyataan Gus Makki itu disampaikan dalam suatu acara dengan pengurus dan badan otonom NU.
Memang, Abdullah Azwar Anas tidak bisa mencalonkan sebagai bupati karena sudah dua periode. Namun, istrinya Ipuk Fiestiandani yang maju sebagai calon bupati dan berpasangan dengan H. Sugirah. Hasilnya: dianggap tanpa peran dan tanpa cawe-cawe NU, pasangan Ipuk-Sugirah tampil sebagai pemenang meski prosentase kemenangan cuma 52,6 persen atas rivalnya Yusuf Widyatmoko-KH. Riza Aziziy.
Toh, pemenang Pilkada tetap dilantik. Roda pemerintahan selama periode Ipuk juga berjalan dengan baik. Rekonsiliasi sudah dibangun PCNU. PCNU juga tidak ngrusui apalagi mengganggu program bupati. Cuma, program bupati dan program PCNU terkesan berjalan sendiri. PCNU dengan program Sobo Deso, bupati program Bunga Desa.
Pertanyaan yang muncul, mengapa PBNU baru menunjuk caretaker menjelang bergulirnya Pilkada 2024? Padahal, masa kepengurusan PCNU telah habis medio pertengahan tahun lalu. Malahan, PBNU telah memperpanjang SK kepengurusan hingga dua kali dan terakhir habis 3 Januari 2024 dan di dalamnya tidak ada petunjuk untuk segera menggelar konferensi.
Surat pengajuan untuk ketiga kalinya tidak mendapatkan jawaban dan justru menunjuk caretaker yang kini dipimpin oleh salah satu jajaran ketua di PBNU, yaitu H. Choirul Sholeh Rasyid selaku ketua tanfidz dan KH. Atthoillah Salahudin sebagai Rois Suriyah PCNU. Diketahui, H. Chairul Shaleh adalah asli kelahiran Jember dan kini sebagai Sekretaris Majelis Syariah DPP PPP. Sementara itu, Gus Atthoilah adalah salah satu dewan masyayikh Ponpes Lirboyo Kediri.
Nah, sehubungan momentum Pilkada dan penunjukan caretaker PCNU, tentu ini menjadi tanda-tanda bahwa Pilkada di Banyuwangi nanti akan berlangsung sengit. Ada istilah, kubu pendopo dan non pendopo. Jika mengacu pada Pilkada 2020, akan ada potensi dua paslon lebih besar.
Meskipun hari ini belum ada pencalonan resmi, baik kubu pendopo dan kubu non pendopo sudah mulai pasang kuda-kuda jauh hari sebelum Pilkada. Mengingat, peran NU dalam Pilkada sangat strategis. Kultur warga Banyuwangi mayoritas NU adalah salah satu alasannya.
Maka, siapapun calon yang menang, diprediksi tidak akan bisa menang mutlak seperti yang dialami oleh Abdullah Azwar Anas periode pertama dan kedua menjabat sebagai bupati kota Gandrung. Sebab, kini para petinggi NU di Banyuwangi terbelah. Kepentingan sini dan kepentingan sana. Semoga saja tetap manfaat untuk umat bukan untuk kepentingan sesaat. Wallahua’lam.
*Penulis: Ali Nurfatoni, Sekretaris Forum Diskusi Dapil se Banyuwangi