OPINI* (SuaraIndonesia.net)–Dalam catatan sejarah Pilkada Banyuwangi, pasangan calon bupati dan wakil bupati dianggap memiliki latar belakang yang saling melengkapi. Paslon selalu berkutat pada nasionalis, religius, birokrat.
Dimulai dari medio 2000-2005. Bupati dan Wakil Bupati, Ir. Syamsul Hadi-Abdul Kadir adalah komponen paslon politisi dan birokrat. Syamsul Hadi adalah seorang politisi ulung dibawah naungan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Sementara Abdul Kadir adalah seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang profesional.
Berikutnya adalah Dr. Ratna Ani Lestari yang berpasangan dengan KH. Yusuf Nur Iskandar. Ratna Ani Lestari ketika mencalonkan diri sebagai bupati adalah representasi dari politisi nasionalis. Betapa tidak, dia adalah mantan anggota DPRD Jembrana dari PDIP.
Sementara, wakilnya adalah disebut representasi dari religius, karena pria yang akrab dipanggil Gus Yus itu adalah salah satu pengasuh pesantren di Darul Ulum Brasan, Sumber Beras, Muncar. Dengan demikian, bisa dijadikan kedua pasangan itu adalah representasi dari Nasionalis-Religius.
Abdullah Azwar Anas-Yusuf Widyatmoko adalah yang cukup fenomenal. Betapa tidak, justru dua orang ini malah merepresentasikan dari unsur yang sama, yaitu sama sama politisi. Sebab, A3 (Abdullah Azwar Anas) adalah politisi representasi dari PKB kala itu sebelum pindah haluan ke PDIP, sementara Yusuf adalah politisi dari PDIP yang notabene bisa dianggap representasi kaum nasionalis.
Pasangan ini cukup populer. Bahkan, sanggup gol hingga dua periode dan berakhir masa jabatan 2020.
Pada momentum 2020, pasangan Ipuk Fiestiandani Azwar Anas dan Sugirah dengan jargon kampanye berkesinambungan. Ipuk dikenal karena citra dan prestasi suaminya A3 ketika menjabat, sementara Sugirah adalah seorang politisi senior. Sebab, Sugirah adalah anggota DPRD Banyuwangi yang masih aktif dari fraksi PDIP.
Meski begitu, ternyata paslon no urut 2 ini menang meski selisih tipis atas Yusuf Widyatmoko dan KH. Riza Aziziy yang dianggap sebagai representasi nasionalis-religius. Gus Riza, panggilan akrabnya, adalah putra sulung KH. Hisyam Syafaat pengasuh pondok pesantren Darussalam Blokagung yang juga mantan Rois Suriyah PCNU Banyuwangi. Dengan demikian, Gus Riza dianggap sebagai perwakilan dari kaum santri.
Lantas, untuk Pilkada Banyuwangi 2024 ini bagaimana? Deretan nama yang muncul adalah calon bupati. Nyaris tidak ada yang muncul sebagai calon wakil bupati.
Dari daftar nama yang beredar, sebut saja Ipuk Fiestiandani Azwar Anas dianggap sebagai representasi dari kaum nasionalis. Sebagai petahana, dia adalah kader PDIP. Jika dia masih berpasangan dengan H.Sugirah, maka keduanya masih berkutat pada sama sama politisi nasionalis.
Bagaimana jika Ipuk memilih birokrat. Deretan birokrat yang berpotensi diantaranya adalah Guntur Priambodo, Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Pengairan Banyuwangi. Selain itu, juga ada Ali Ruchi yang baru saja dimutasi ke Dinas Perpustakaan dan Kearsipan sebagai sekretaris. Maka dengan skema ini bisa mewadahi pasangan nasionalis dan birokrat.
Untuk pasangan nasionalis-religius, sebut saja Sumail Abdullah dan KH. Ahmad Munib Syafaat. Sumail yang punya kualitas untuk memimpin Banyuwangi. Dia juga memiliki pengalaman skala nasional karena sebagai anggota DPR RI.
Gus Munib, panggilan akrabnya, justru lebih komplit. Selain politisi. dia juga bisa representasi religius dan akademisi karena yang bersangkutan adalah pengasuh ponpes sekaligus rektor Universitas KH Mokhtar Syafaat Blokagung. Maka jika klik, maka pasangan Sumail-Gus Munib termasuk pasangan calon yang lebih komplet, yaitu nasionalis dan religius plus akademis.
Lalu, mana yang paling ideal dan sangat dibutuhkan rakyat Banyuwangi saat ini. Jawabannya adalah bisa dilihat dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang digelar tanggal 27 November nanti.
*Penulis: Ali Nurfatoni, Sekretaris Forum Diskusi Dapil se-Banyuwangi