BANYUWANGI (SuaraIndonesia.net)—Sejumlah budayawan Banyuwangi berkumpul di Padepokan Jaenuri, Desa Lemahbang Dewo Kacamatan Rogojampi, Sabtu (17/5/2025), untuk mendiskusikan arah perkembangan seni budaya di daerah yang dinilai semakin menjauh dari nilai-nilai pakem dan religi.
Pertemuan informal yang berlangsung di pendopo milik Jaenuri ini berlangsung dalam suasana santai namun sarat kegelisahan terhadap fenomena seni kontemporer yang dianggap melenceng.
Diskusi dipicu oleh sebuah pertunjukan seni yang belum lama ini digelar dan menuai kontroversi karena menampilkan adegan-adegan yang dinilai menjurus pada unsur pornografi.
Para budayawan yang hadir tidak menyebut pihak tertentu, namun mengkritisi pergeseran nilai yang terjadi dalam praktik seni pertunjukan belakangan ini.
Aekanu Hariyono dari kelompok seni Killing Osing mengingatkan bahwa seni bukanlah ruang bebas tanpa batas.
“Seni itu bukan wilayah liar. Ia punya pakem. Sejak zaman keraton, sampai zaman kemerdekaan, ada garis-garis yang tak boleh dilanggar. Kita boleh kreatif, tapi tak bisa liar tanpa arah,” ujarnya.
Pernyataan tersebut disambung oleh Syafaat, Ketua Lentera Sastra Banyuwangi, yang menyoroti pentingnya dimensi spiritual dalam karya seni.
“Pakem itu roh, tapi agar roh itu tidak membeku, ia harus disiram sentuhan religi. Ruh yang ditinggal nilai-nilai langit, akan hanyut di sungai gemerlap yang membawa kita pada pamer tubuh dan goyangan tak layak,” ungkapnya.
Hadir pula dalam diskusi tersebut penyair Fatah Yasin Noor dan pelawak tradisional Ribut Kalembuan. Meski biasanya dikenal dengan gaya celetukan dan parikan, Ribut lebih banyak diam dalam forum itu.
Sementara KRT Ilham, seorang abdi negara yang dikenal sebagai ahli keris dan pernah menjadi pawang hujan pada upacara Proklamasi di Ibu Kota Nusantara, menanggapi dengan pernyataan singkat, “Dulu, hujan pun tahu malu saat hendak turun pada saat sakral. Tapi sekarang, manusia malah bersorak saat seni kehilangan pakaiannya.”
Meski tidak menghasilkan keputusan resmi, pertemuan di Padepokan Jaenuri tersebut menjadi ajang menyuarakan keprihatinan atas degradasi nilai dalam seni. Pertemuan itu berlangsung tanpa tata acara formal. Para budayawan menutup pertemuan tersebut dengan harapan bahwa seni Banyuwangi akan kembali pada marwahnya. (ksm)