BANYUWANGI (AktualLine.com)—Udara pagi yang masih basah oleh embun berubah hangat di Lapangan GOR Tawangalun, Selasa 30 April 2024. Dari segala penjuru, manusia berseragam putih—pria berkopiah dan perempuan berhijab lebar—berjalan perlahan menuju pusat lapangan. Di tangan mereka, sebagian menggenggam buku panduan haji. Sebagian lagi hanya menenteng botol air dan secarik kain untuk mengelap peluh.
Mereka bukan datang ke konser atau kampanye politik. Tapi menghadiri satu peristiwa yang menjadi mimpi berjuta umat Islam: praktek bimbingan manasik haji.
Sebanyak 1.130 calon jamaah haji asal Kabupaten Banyuwangi mengikuti geladi berskala besar itu. Di bawah koordinasi Kepala Kantor Kementerian Agama Banyuwangi, Dr. Chaironi Hidayat, lapangan GOR Tawangalun disulap menjadi miniatur tanah suci—lengkap dengan replika tenda-tenda Mina dan lintasan lempar jumrah.
Para jamaah yang hadir berasal dari tiga kelompok terbang: SUB-42, SUB-43, dan SUB-44, yang dijadwalkan berangkat ke Tanah Suci pada 12 Mei 2025, dalam gelombang pertama pemberangkatan haji nasional.
Di antara deretan tenda, Wakil Bupati Banyuwangi, Ir. H. Mujiono, M.Si., menyusuri barisan jamaah. Ia menyapa satu per satu, berfoto bersama, dan kemudian naik ke podium. Dalam sambutannya, ia mengimbau para jamaah menjaga kondisi fisik sebaik mungkin.
“Jangan anggap enteng. Di Armuzna (Arafah, Muzdalifah, Mina), stamina menjadi kunci. Jangan sampai kelelahan membuat ibadah terganggu,” ujarnya, diiringi anggukan khidmat para calon haji.
Tak hanya pesan spiritual dan teknis yang mengemuka. Aspek kesehatan pun mendapat perhatian serius. Kepala Dinas Kesehatan Banyuwangi, H. Amir Hidayat, yang turut hadir dalam kegiatan itu, menekankan pentingnya komunikasi dua arah antara jamaah dan tim medis.
“Banyak jamaah mengabaikan keluhan ringan. Padahal, dari situlah sering muncul gangguan serius. Konsultasi medis harus dilakukan secara rutin,” katanya.
Manasik ini tak ubahnya gladi bersih ruhani. Sebelum benar-benar berangkat, para jamaah diajak menyelami makna ibadah, menata niat, dan menguji daya tahan tubuh mereka. Lintasan buatan untuk sa’i dan lempar jumrah disimulasikan secara serius. Sesekali terdengar suara talbiyah yang bergema pelan: Labbaik Allahumma Labbaik.
Seorang jamaah asal Kecamatan Tegaldlimo, Siti Hasanah (61 tahun), terlihat menahan air mata. “Saya sudah menunggu puluhan tahun. Rasanya masih seperti mimpi,” katanya lirih.
Ketika siang tiba dan bayang-bayang semakin pendek, satu per satu peserta mulai meninggalkan lapangan. Ada yang bertumpu pada tongkat, ada yang saling bergandengan. Wajah-wajah mereka lelah, namun bercahaya. Seakan baru saja menyentuh jejak kaki Ibrahim.
Di antara hiruk pikuk yang perlahan mereda, suara pembimbing ibadah terdengar kembali: “Jangan tinggalkan latihan ini di lapangan. Bawalah ke Tanah Suci. Sebab di sanalah manasik sebenarnya akan diuji.” (ksm)