OPINI (SuaraIndonesia.net)–Waktu saya ditanya soal stadion di Banyuwangi, saya malah sedikit bengong. Bukan karena saya tidak tahu ada stadion di Banyuwangi. Tapi karena saya tidak tahu—atau lebih tepatnya, tidak pernah memperhatikan—namanya: Stadion Diponegoro.
Saya kira, itu stadion di Semarang. Atau, paling tidak, di Jogja. Tapi ternyata: ya di tempat saya sendiri. Banyuwangi. Ujung timur Jawa. Di mana matahari pertama kali menyapa pulau ini.
Pernah seorang teman dari Jakarta tertawa kecil ketika saya bilang stadion Diponegoro itu adanya di Banyuwangi. “Serius? Saya pikir itu stadion di sekitar Semarang,” katanya sambil menahan tawa.
Saya hanya mengangguk. Tapi dalam hati saya bertanya-tanya: kenapa ya?
Saya tidak punya dendam dengan Pangeran Diponegoro. Beliau pahlawan besar. Seorang bangsawan yang membuang gelar demi melawan penjajah. Tapi nama beliau terlalu nasional. Terlalu umum. Terlalu seragam. Seperti seragam putih-abu yang dipakai hampir semua siswa SMA di negeri ini.
Banyuwangi ini tanah yang penuh kisah. Tanah yang jika dicangkul sedikit saja, bisa keluar mitos. Bila dibuka lempengan tanahnya, akan muncul legenda-legenda yang tidak ditemukan di tempat lain. Maka jika ada stadion di tanah ini, dan kita malah menamainya dengan nama tokoh dari luar, saya merasa seperti sedang minum kopi Bali di Warkop Banyuwangi: ada rasa yang ganjil.
Saya teringat pada Rempeg Jogopati. Seorang tokoh lokal, pejuang dalam Perang Bayu. Ia gugur dalam pertempuran yang bahkan mungkin lebih berdarah daripada Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro. Tapi entah kenapa, ia tidak begitu dikenal. Seperti kertas sejarahnya ditutup buku paket yang hanya memuat tokoh-tokoh nasional.
Lalu ada Sayu Wiwit. Seorang perempuan. Konon, ia menjadi tumbal demi keselamatan tanah Blambangan. Kisahnya mistis dan tragis. Tapi justru di situ letak heroiknya. Jika di tempat lain nama stadion diambil dari tokoh lelaki berjubah perang, di sini kita bisa lebih berani. Menamai stadion dengan nama seorang perempuan yang pengorbanannya setara, bahkan mungkin lebih dalam. Karena ia tidak berperang. Ia menyerahkan diri.
Nama Sayu Wiwit bukan hanya indah di telinga, tapi juga menohok di dada.
Saya membayangkan announcer pertandingan berkata, “Selamat datang di Stadion Sayu Wiwit, tanah pengorbanan dan keberanian.”
Lalu di sudut tribun, anak-anak sekolah duduk sambil bertanya, “Siapa dia?”
Dan guru mereka menjawab pelan, “Dia perempuan yang rela mati demi desa ini.”
Dari situ, sebuah narasi tumbuh. Rasa bangga tumbuh. Tidak lagi menyebut nama luar. Tidak lagi menumpang pada sejarah orang lain.
Saya tahu, mengubah nama stadion bukan hal sepele. Akan ada yang marah. Akan ada yang menolak. Akan ada yang menyindir: “Itu cuma nama, kok diributkan?”
Tapi justru di situlah poinnya: kalau nama saja tidak kita urusi, bagaimana kita mau urusi sejarah?
Saya tidak sedang marah. Saya hanya sedang rindu. Rindu pada sebuah tempat yang bernama sesuai dengan jiwanya. Rindu pada semangat lokal yang tidak takut bersaing dengan nasional. Bahkan dengan global.
Saya hanya ingin, ketika nanti ada anak-anak dari luar kota bertanya:
“Stadionmu namanya siapa?”
Maka anak Banyuwangi akan menjawab, dengan penuh bangga:
“Stadion Sayu Wiwit. Karena kami percaya, keberanian tidak selalu lahir dari laki-laki bersenjata. Tapi juga dari perempuan yang berani berkorban.”
Dan teman dari Jakarta tidak lagi harus berkata, “Serius, itu bukan di Jogja?”
*Penulis Opini: Syafaat