OPINI* (Suara Indonesia.net)–Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) merupakan satu-satunya partai politik yang dilahirkan dari rahim NU. Sebab, proses pembentukan partai berlambang bola dunia itu difasilitasi langsung oleh PBNU dibawah komando ketua Tanfidziyah, KH. Abdurrahman Wahid (Gusdur) kala itu.
Tepat tanggal 23 Juli 1998 atau pasca tumbangnya rezim orde baru yang telah berkuasa selama 32 tahun, akhirnya PKB resmi deklarasi.
Meski baru berdiri, PKB ternyata sukses menjadi pemenang keempat di bawah PDIP, Golkar dan PPP pada Pemilihan Umum yang dilaksanakan 7 Juni tahun 1999. Bukan hanya itu, PKB juga sukses mengantarkan Gusdur sebagai presiden dalam rapat paripurna di DPR.
Capaian prestasi itu berlanjut ke level daerah, termasuk di Banyuwangi. PKB sukses mengantarkan kadernya, Ir. Samsul Hadi sebagai Bupati Banyuwangi periode tahun 2000 – 2005 juga melalui rapat paripurna DPRD. Semangat reformasi semakin membuat PKB kompetitif dalam peta politik lokal.
Tetapi, PKB gagal mempertahankan posisi pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dengan pemberlakuan pilihan langsung, jago dari PKB tumbang pada Pilkada tahun 2005. Padahal satu itu PKB meraih 16 kursi dari total 50 kursi parlemen.
Kali ini, bukan sang petahana yang maju sebagai kandidat, melainkan Ir. Wahyudi sebagai calon bupati. Bersama calon wakilnya, Eko Sukartono, Ketua PKB itu harus menelan pil pahit saat kalah perolehan suara rakyat atas tokoh baru, Ratna Ani Lestari yang notabene didukung 18 parpol gurem.
Padahal, saat itu PKB menguasai parlemen dan mengantarkan Ir. Wahyudi sebagai ketua DPRD periode 2004-2010. Tetapi, dinamika nasional dengan perpecahan antar tokoh di tubuh PKB menimbulkan kemerosotan tajam capaian kursi PKB pada Pemilu 2009.
Adalah PKNU yang dinilai partai sempalan PKB yang membuat posisi kursi PKB menurun baik nasional sampai daerah. Bahkan, sejumlah politisi banyak yang berlabuh ke PKNU, termasuk di kemudian hari Ir. Wahyudi yang menyeberang dan menjadi ketua PKNU. Singkat cerita, drama PKNU berakhir. PKNU hanya sekali mengikuti pemilu tepatnya tahun 2009 dan gagal lolos verifikasi KPU menjelang pemilu 2014.
Ya, PKB adalah partai yang memang berdiri atas prakarsa PBNU. Oleh karena itu, PKB dan NU sejatinya merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan meskipun dalam wadah lembaga yang berbeda. Hubungan parpol dan ormas terbesar ini sangat harmonis bisa dicermati pada Pilkada tahun 2010.
Saat itu, PCNU mendesain serap aspirasi warga NU dalam menyongsong Pilkada 2010. Hasilnya, Abdullah Azwar Anas yang saat itu masih sebagai kader PKB mendapatkan poin mayoritas.
Atas prakarsa PCNU itulah, akhirnya PKB kembali berjaya dengan memenangi Pilkada dengan duet pasangan dahsyat (Abdullah Azwar Anas – Yusuf Widyatmoko). KH. Masykur Ali sebagai ketua tanfidz dan KH. Hisyam Syafaat sebagai Suriah dinilai yang paling berjasa yang bisa mengantarkan kader NU terbaik sebagai bupati.
Harmonisnya PKB dan NU terus berlanjut. Maka tak ayal, pada Pilkada berikutnya, pasangan Anas-Yusuf kembali menang dengan skor mencolok. Sayang, situasi berubah pada momentum pilkada 2020. Hanya, kali ini PCNU telah terjadi pergantian pemain, yang semula dikomando oleh KH. Maskur Ali dan pindah ke tangan KH Moh. Ali Makki pada konferensi tahun 2018.
PCNU dibawah pucuk pimpinan Gus Makki tetap berusaha mengandalkan kader terbaiknya maju di Pilkada Banyuwangi pada edisi 2020. Wal hasil, KH. Riza Aziziy yang notabene putra KH. Hisyam Syafaat maju sebagai calon wakil bupati mendampingi Yusuf Widyatmoko.
Pada bagian lain, Abdullah Azwar Anas bupati dua periode justru berada di pihak berseberangan dengan menjagokan istrinya, Ipuk Fiestiandani sebagai calon bupati. Bahkan, saat menjadi bupati periode kedua, dia yang semula menjadi kader PKB akhirnya memilih ganti baju menjadi kader PDIP.
Maka bisa disimak, kekuatan lintas tokoh yang berbeda pandangan politik ini membuat tensi pilkada episode lalu itu penuh drama dan tensi tinggi. Hasilnya, keberuntungan berpihak ke Abdullah Azwar Anas karena istrinya memenangi Pilkada meskipun selisih tipis.
Perolehan suara Ipuk Fiestiandani mencapai 438.847 atau 52,43 persen. Dengan begitu, perolehan suara mereka unggul 4,86 persen atau setara 40.734 suara dari rivalnya, Yusuf Widyatmoko-Gus Riza yang hanya memperolehan 398.113 suara dari total jumlah pemilih 852.202 orang.
Pada pilkada tahun ini, PCNU tidak lagi dipimpin oleh Gus Makki karena dia dikarteker oleh PBNU. Gus Makki memilih maju sebagai calon bupati yang diusung oleh PKB. Tetapi, situasi ini berbeda, secara politik, PKB tampak tidak harmonis dengan PCNU.
Dinamika ini juga bagian efek domino ketegangan PKB di level pusat dengan PBNU yang terjadi saat ini, bahkan dimulai saat Pilpres kemarin.
Ipuk Fiestiandani kembali maju sebagai calon bupati dan melawan Gus Makki. Abdullah Azwar Anas pun tampaknya paham betul situasi politik lokal saat ini.
Dia pun berusaha kembali merajut harmoni dengan lintas tokoh yang pernah berjasa kepadanya. Menteri satu ini tampak sudah saling sinergi terutama dengan tokoh selevel KH. Masykur Ali dan KH Hisyam Syafaatl.
Pada bagian lain, Ipuk Fiestiandani pun sudah tatap muka dengan KH. Ahmad Munib Syafaat yang dibalut dengan tema diskusi gayeng untuk Banyuwangi. Maka bisa dicermati, Pilkada saat ini tensi tinggi meskipun hasilnya bisa diprediksi. Gus Makki maju sebagai calon bupati dari PKB.
Pucuk pimpinan juga sudah berganti dari tangan H. Joni Subagyo ke KH. Abdul Malik Syafaat. Sementara, posisi petahana Ipuk Fiestiandani sebagai incumbent maju dengan gerbong koalisi parpol super besar.
Ini tantangan super berat bagi PKB untuk memenangi laga Pilkada.
Meskipun sulit, tetapi peluang tetap masih terbuka dan PKB tidak gentar. Seperti slogannya, PKB membela yang benar.
*Penulis: Ali Nurfatoni, Sekretaris Forum Diskusi Dapil se-Banyuwangi