OPINI* (SuaraIndonesia.net)–Wakil Bupati Banyuwangi, H. Sugirah berani bersikap dan bergerak mengejutkan. Pengurus teras DPC PDIP itu malah mengambil formulir pendaftaran sebagai calon bupati periode 2024-2029 di sekretariat PKB.
Manuver Wabup Sugirah ini dianggap cukup kontroversial. Sebab, partai berlambang banteng moncong putih itu tidak perlu koalisi dengan partai politik (parpol) lain untuk mengusung pasangan calon (paslon) Bupati-Wakil Bupati dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun ini. Sekadar tahu, PDIP telah mengantongi 11 kursi hasil pemilihan legislatif (Pileg) 2024.
Artinya, ini sudah modal cukup bagi PDIP untuk mengusung paslon dari ambang minimal 20 persen perolehan kursi DPRD/10 kursi. Meski telah cukup modal, bendahara DPC PDIP itu malah melakukan gerakan zig-zag.
Pria asli Desa Seneporejo, Kecamatan Siliragung itu terang-terangan mendaftar lewat PKB. Dan ini, kader satu-satunya dari PDIP yang mengambil jalur tikungan tajam ke PKB. Yang dilakukan Wabup Sugirah ini menjadi kontra produktif di internal partainya.
Apakah ini menjadi pertanda bahwa internal PDIP pecah kongsi? Jika benar, maka ini berpotensi akan menggerus kekuatan pendopo. Ingat bupati dan wakil bupati terpilih Pilkada 2020 lalu, Ipuk Fiestiandani-H Sugirah adalah sama sama kader PDIP. Keduanya diusung koalisi PDIP, Nasdem, Gerindra dan PPP.
Kini, Wabup Sugirah tampak berperan mengambil langkah dua kaki. Pertama, sebagai kader PDIP sekaligus petahana, dia justru berusaha mendaratkan kaki di PKB dengan mendaftar sebagai calon bupati. Pada bagian lain, pria berkacamata itu juga mendaftar lewat partainya sendiri, PDIP di hari yang sama.
Tentu, Wabup Sugirah tampaknya cukup siap menghadapi konsekuensinya. Jika keputusannya ini bakal keliru, bisa jadi dia juga terancam diberhentikan dari keanggotaan di PDIP. Lebih lebih misalnya, jika dia pada akhirnya malah mendapatkan rekomendasi dari PKB sebagai calon bupati.
Sejarah masa lalu, Yusuf Widyatmoko berpotensi bisa terulang. Yusuf Widyatmoko yang notabene kader PDIP dan pernah menjadi ketua partai akhirnya harus menelan pil pahit. Dia dipecat dari keanggotaan PDIP lantaran maju sebagai calon bupati yang diusung oleh partai lain (Demokrat, PKB, Golkar) pada Pilkada empat tahun lalu.
Ibarat pepatah, Yusuf Widyatmoko bernasib nahas. Sudah jatuh tertimpa tangga. Kalah dalam Pilkada, dipecat dari partainya. Kini, Yusuf berusaha maju mengadu nasib sebagai calon bupati melalui jalur non parpol/independen.
Fenomena Wabup Sugirah memang dianggap hal yang biasa dalam pergulatan politik di tanah air. Sama halnya, ketika Joko Widodo rela dan merestui putra sulungnya maju sebagai calon wakil presiden yang diusung koalisi Gerindra, Golkar, PAN, dan Demokrat pada Pilpres kemarin.
Padahal Jokowi dan putranya adalah kader aktif PDIP. Sementara, PDIP jelas mengusung Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Pada bagian lain, Ketua Partai Gerindra, Sumail Abdullah juga mengambil formulir sebagai calon bupati di PDIP dan PKB.
Tentu upaya ini dilakukan dengan harapan bahwa kedua partai besar itu merekomendasikan dirinya. Selain itu, keputusan itu juga dinilai bahwa supaya Gerindra bisa berkoalisi dengan dua parpol tersebut di ajang pilkada tahun ini.
Gerindra pemilik hanya 6 kursi harus koalisi dengan parpol lain jika ingin mengusung paslon, terutama poros PDIP dan PKB. PKB yang notabene peraih 9 kursi memang cukup realistis untuk diajak koalisi oleh Gerindra.
Apalagi, di jajaran DPP, Prabowo Subianto, presiden terpilih sudah kembali bertemu dengan rivalnya, Ketua Umum PKB; Muhaimin Iskandar belum lama ini. Sementara, Prabowo belum bertemu dengan Megawati.
Ketua Partai Demokrat, Michael Edy Hariyanto pun melihat peluang. Orang pertama yang mendapatkan tugas sebagai calon bupati dari partainya, dia cukup menyadari bahwa partainya tidak cukup tanpa koalisi.
Bermodal 7 kursi, dia pun sat-set daftar lewat PKB. Hanya saja, dia cenderung menginginkan berpasangan KH. Ahmad Munib Syafaat sebagai paslon yang diusung PKB-Demokrat. Apalagi, di jajaran elite pusat hingga daerah, Demokrat dan PDIP tampak selalu berseberangan. SBY-Megawati sulit bertemu.
Mungkin karena itu, mengapa Michael tidak mengambil formulir di PDIP. Jika ini terealisasi, maka pasangan ini menjadi miniatur Jokowi-Ahok di Pilkada DKI 2012 lalu.
*Penulis: Ali Nurfatoni, Sekretaris Forum Diskusi Dapil se-Banyuwangi