OPINI* (SuaraIndonesia.net)–Kisruh yang terjadi di kepengurusan PCNU Banyuwangi tampaknya ditengarai adanya perbedaan pandangan politik antar pengurus itu sendiri. Sikut-menyikut antar pengurus internal terjadi di tubuh ormas keagamaan tersebut.
Apalagi, dorongan kuat di internal yang berbeda pandangan justru semakin meruncing menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Banyuwangi tahun 2024.
Sungguh ini sangat memprihatinkan. PCNU Banyuwangi mulai terjebak ke arena wilayah politik praktis. Orang-orang di dalamnya juga memiliki kapasitas dan muatan politik yang cukup kental. Mereka semua memiliki rekam jejak yang berbeda.
Misalnya, ada kader dari partai A, partai B dan partai C dan seterusnya.
Ya, diakui atau tidak, NU memang pernah menjadi salah satu partai politik di tanah air, tepatnya pada pemilu 1955.
NU, pada saat itu masuk posisi empat besar bersama PNI, Masyumi, PKI. Namun setelahnya, pada pemilu 1971, NU juga masuk tiga besar dan menjadi juara kedua setelah partai Golkar. Setelahnya, tepatnya pada Muktamar NU tahun 1984 di Situbondo memilih kembali ke khittah dan tidak masuk arena politik praktis.
Pada perkembangannya, tetap NU selalu ditarik-tarik ke arena politik praktis. Walaupun, NU lebih memilih dan berubah dari NU politik menjadi politik NU / kebangsaan, namun banyak kader, aktivis NU, baik di struktural maupun simpatisan NU kerap kali terjebak di arena politik praktis.
Misalnya, pada momentum pemilu tahun 2004. Saat itu, Ketua Umum PBNU, KH. Hasyim Muzadi yang memilih maju sebagai calon wakil presiden mendampingi Megawati sebagai calon presiden.
Walaupun, banyak tokoh NU, misalnya KH. Abdurrahman Wahid alias Gusdur tidak sependapat dengan keputusan KH. Hasyim Muzadi dan belakangan Hasyim Muzadi toh tidak terpilih dan presiden dan wakil presiden terpilih saat itu adalah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla.
Yang paling gres adalah banyak kader NU yang terlibat dalam pemenangan calon presiden dan wakil presiden pada pemilu 2024. Misalnya, untuk pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar. Banyak sekali kader NU yang bercokol di sana sebagai tim pemenangan.
Mengingat, PKB sebagai partai pengusung memang lahir dari NU, banyak sekali tokoh NU dari berbagai kalangan ulama’, kyai yang memiliki pondok pesantren yang menjadi tim pemenangan. Tokoh sentralnya adalah Jusuf Kalla yang notabene mantan wakil presiden dan ketua umum Dewan Masjid Indonesia.
Pada pasangan no urut 2 yaitu Prabowo-Subianto-Gibran Rakabuming Raka, di sana ada sederet nama nama mentereng. Misalnya, Nusron Wahid, salah satu wakil ketua di kepengurusan PBNU, mantan ketua GP Ansor, serta Khofifah Indar Parawansa, ketua umum
Muslimat NU.
Untuk pasangan no urut 3, juga cukup melimpah kader NU yang menjadi tim pemenangan. Bahkan, calon wakil presidennya, Mahfud MD adalah tokoh NU asli asal Madura, juga menteri Polhukam di era Jokowi dan pernah menjadi menteri pertahanan di era kepemimpinan KH. Abdurrahman Wahid.
Nah, dinamika NU masuk wilayah politik praktis memang berada di individu masing-masing. Tetapi, sekali lagi, kiprah kader dan aktivis NU di pergulatan politik praktis memang tidak bisa dianggap remeh. Terbukti, mereka bisa menjalankan politiknya dengan sebaik-baiknya.
Saling sindir, saling sikut menyikut antar kader di tubuh NU adalah hal biasa, karena memang ada kepentingan politik praktis yang mengikat mereka. Maka jangan salah, internal PCNU Banyuwangi yang diterpa kegaduhan juga karena “persaingan” perbedaan pandangan politik antar pengurus. Perbedaan arus politik di internal kepengurusan itu sudah dimulai pada Pilkada tahun 2020 lalu.
Kini, pertarungan bebas antar pengurus di internal yang pro-kontra akan terus mengalir hingga Pemilihan Bupati Banyuwangi yang digelar 27 November nanti.
Sekali lagi, meski terjadi perbedaan pandangan yang kian meluas, semoga Banyuwangi tetap kondusif. Apapun pilihannya, NU tetap untuk kemaslahatan umat. Untuk Pilkada, demi kepentingan rakyat.
*Penulis: Ali Nurfatoni, Sekretaris Forum Diskusi Dapil se-Banyuwangi.