OPINI (SuaraIndonesia.net)–Pesta demokrasi baru saja digelar, anggota legislatif terpilih wajahnya mulai terpampang di media. Saatnya menyampaikan salam dari rakyat untuk melawan lupa atas satu peristiwa, yaitu pemberlakuan desentralisasi politik yang ditandai dengan penyelenggaraan otonomi daerah, disambut gegap gempita penuh bahagia, berharap rakyat Sejahtera. Karena suaranya terdengar.
Tetapi dalam faktanya justru sebaliknya, sebagian besar anggota DPRD kehilangan kepekaan dalam merespon kepentingan publik yang lebih luas. Semisal isu praktik politik uang, dalam hampir setiap Pilkada serta munculnya kegaduhan dalam pertanggung jawaban Kepala Daerah.
Beragam penyimpangan pun terjadi yang pada gilirannya memperburuk citra desentralisasi dan penyelenggaraan otonomi daerah. Meskipun di sisi lain ekses tersebut dapat dimaklumi. Dalam catatan Maswadi Rauf, itu karena gagasan otonomi daerah digagas dan ditawarkan pada situasi krisis ekonomi yang amat parah, lalu diberlakukan saat euphoria masyarakat dan rasa kebebasan yang menggelora, sehingga otonomi daerah diberlakukan di tengah – tengah kekacauan dan ketidakpastian hukum.
Hasil kajian Andrinof A Chaniago, menyatakan bahwa anggota DPRD yang seharusnya berperan mengontrol tindakan eksekutif justru berkembang ke arah pemerasan negara oleh para politisi, mereka cenderung menggunakan kesempatan untuk menekan eksekutif agar mau melakukan penggerogotan uang negara melalui proses pengajuan RAPBD dan mekanisme laporan pertanggungjawaban Kepala Daerah.
Ditambahkan oleh Robert E. Jaweng yang menyindir DPRD menikmati manisnya Tuah kekuasaan juga kekayaan yang mengikutinya. (Meskipun tidak semua anggota DPRD demikian karena masih banyak anggota DPRD yang memiliki akhlak dan keluhuran serta komitmen).
Fenomena tersebut dapat dijelaskan secara sederhana: Pada satu sisi eksekutif sebagai pihak pengelola dan pengendali keuangan daerah dengan kekuasaan politik yang terbatas, sementara di sisi lain legislatif muncul sebagai supremasi dalam memegang kendali politik dengan sumber keuangan yang amat tergantung kepada eksekutif. Dua kutub kekuasaan ini memberi peluang kepada eksekutif dan legislatif melakukan sinergi negatif berupa kolusi menuju korupsi, formulasinya sederhana dominasi kekuasaan politik menjadi lebih mudah diimbangi dengan sumber keuangan yang dikelola dan dikendalikan eksekutif.
Dengan demikian posisi dan kelebihan yang dimiliki oleh dua kutub terjebak pada pemeliharaan untuk mempertahankan kepentingan masing-masing. Penguatan peran DPRD yang ditujukan untuk menciptakan keseimbangan horizontal melalui mekanisme check and balance, terperangkap dalam pola hubungan kolusi antara eksekutif dengan legislatif. Mereka benar-benar meraih keuntungan perubahan paradigma hubungan eksekutif legislatif dalam penyelenggaraan pemerintah daerah.
Sebagian besar anggota DPRD mulai menyiasati penyusunan anggaran daerah untuk memperkaya diri sendiri. praktik yang terjadi anggota dewan merasa perlu mengakali beragam peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat, mengabaikan fungsi kontrol lalu sibuk merekayasa keuangan sendiri, bahkan mengakali mencoret jatah rakyat. untuk meraup keuntungan pos dan besaran anggaran.
Izinkan rakyat mengingatkan dengan kemampuan dan caranya masing – masing, sebagaimana ajaran para Alim. Selamat kepada anggota legislatif terpilih, semoga amanah.
Penulis: Dr. Emi Hidayati S.Pd.M.Si (Dosen IAI Ibrahimy Genteng)